Di rumah yang luas dan sepi, yang hanya terdapat ayah, ibu,
dan adik.
Tak selamanya Keadaan selalu berjalan sesuai dengan apa yang
kita inginkan dan bisa saja keaadaan tak
terduga datang dan pergi secara mendadak.
Senin cerah dimana semua orang melakukan aktivitas,
“Ibu saya berangkat sekolah dulu (tersenyum)
‘hati-hati sahut si
ibu
20 menit berlalu sampai disekolah dan telat 5 menit dan
diperbolehkan masuk. dikelas dengan semangat, (duduk dikursi kelas) sekelompok
teman mengejek aku
‘huuuuu hari gini telat… makanya punya kendaraan donk
(sambil tertawa)
Ada apa dengan diriku semua orang tertawa melihatku disaat
aku terlambat masuk sekolah aku malu disaat orang mengatakan aku tidak
mempunyai kendaraan… aku benci dengan keadaan ini (sambil berjalan menendang
kaleng).
Sampai dirumah dengan keadaan kelelahan
“assalmualaikum
‘walaikumsalam (sahut ibu)
Berjalan menuju ruang makan (aku dan ayah membicarakan apa
yang aku inginkan)
“ayah? Setiap aku dikelas aku selalu diejek teman terlambat
karena tidak punya kendaraan, ayah aku juga mau sperti mereka yang mempunyai
motor gede.
‘ia ia sabar nak, ayah akan membelikan motor gede tapi?
Dengan satu syarat, kamu harus mencapai nilai yang baik diakhir smester jika
kamu ingin ayah belikan motor (menepuk pundak anaknya)
“yang benar ayah akan belikan motor, baiklah aku akan
belajar lebih rajin lagi (huuu dan sumringah)
Tepat diakhir semester akupun pulang kerumah dengan raut
wajah bahagia membayangkan motor gede yang aku idam-idamkan,
Sesampainya dirumah aku memperlihatkan raporku yang
berisikan nilai diatas rata-rata dan mendapatkan peringkat 1 dikelas, ayah,
ibu, dan adikku semua gembira mendengarkannya.
“ayah dimana janji ayah mana kunci motornya ayah?!!!
Ayah berjalan tepat berhenti di depanku dia memberikan benda
yang ada dibelakangnya tersebut dan memberikan Sajadah dan Al-Quran (ayah
tersenyum)
“ada apa ini ayah (aku mengambil pemberian sajadah dan
Al-Quran dan meletakkan kembali)
“ayah dimana janji ayah yang ingin menepati janji (marah
sambil mengata-ngatain )
Ayah terkena serangan jantung .
“ayah bangun ayah (tersedu2)
Ayahnya akhirnya pergi untuk selama-lamanya
Tepatnya 4 hari setelah ayah pergi, (sambil berjalan
mengambil Al-Quran dan membacanya) Adzanpun berkumandang aku bentangkan sajadah
untuk melakukan ibadah sholat, selesai sholat (mengulung sajadah) aku menemukan
kunci (berlari kearah ibu)
“Ibu kunci apa ini ibu??? Jawab!!! (berkaca-kaca)
‘itu adalah kunci motor pemberian ayahmu nak (smbil menangis
dihadapanku)
Dengan rasa tak percaya dan penuh penyesalan aku menangis
dengan penuh rasa bersalah
“TIDAAAKKKKK…..
tips monolog: anda bisa menggunakan 2 pembicara atau lebih dan bisa menggunakan cara menceritakannya maupun merubah menjadi sipembicara kedua

.jpg)
.jpg)
.jpg)
.jpg)

































Alif lahir di pinggir Danau Maninjau dan tidak pernah menginjak tanah di luar ranah Minangkabau. Masa kecilnya adalah berburu durian runtuh di rimba Bukit Barisan, bermain sepak bola di sawah berlumpur dan tentu mandi berkecipak di air biru Danau Maninjau. Tiba-tiba saja dia harus naik bus tiga hari tiga malam melintasi punggung Sumatera dan Jawa menuju sebuah desa di pelosok Jawa Timur. Ibunya ingin dia menjadi Buya Hamka walau Alif ingin menjadi Habibie. Dengan setengah hati dia mengikuti perintah Ibunya, belajar di pondok. Di kelas hari pertamanya di Pondok Madani (PM), Alif terkesima dengan "mantera" sakti man jadda wajada. Siapa yang bersungguh-sungguh pasti sukses. Dia terheran-heran mendengar komentator sepak bola berbahasa Arab, anak menggigau dalam bahasa Inggris, merinding mendengar ribuan orang melagukan Syair Abu Nawas dan terkesan melihat pondoknya setiap pagi seperti melayang di udara. Dipersatukan oleh hukuman jewer berantai, Alif berteman dekat dengan Raja dari Medan, Said dari Surabaya, Dulmajid dari Sumenep, Atang dari Bandung dan Baso dari Gowa. Di bawah menara masjid yang menjulang, mereka berenam kerap menunggu maghrib sambil menatap awan lembayung yang berarak pulang ke ufuk. Di mata belia mereka, awan-awan itu menjelma menjadi negara dan benua impian masing-masing. Kemana impian jiwa muda ini membawa mereka? Mereka tidak tahu. Yang mereka tahu adalah: "Jangan pernah remehkan impian, walau setinggi apa pun. Tuhan sungguh Maha Mendengar."












